Always flows
Tulisan ini aku buat saat perjalanan menuju alun-alun kota Batu bersama om Safak, Tante Sessy dan Lui. Maklum, karena baru dapat akses wi-fi, akhirnya tulisan ini baru aku publish.
"Wuiiih, dulu, ya, yang namanya habis maghrib, kita semua tanpa disuruh sama ayah, udah nderes (nderes : membaca al quran, dalam pengertian kami) duluan, sampe sholat Isya, sesudah sholat Isya, kami semua langsung buka buku semua. Mbuh iku temenan sinau ta gak, sing penting buka buku, epok2 sinau. Nggak ono sing cangkruk ning ngarep-ngarep, opo neh dolen"
Bermula dari obrolan kami tentang rencana studi masa depan, bagaimana harus mengejarnya, dan sebagainya, selalu saja obrolan kami kembali pada satu titik : cara keluarga kami mendidik. Sejujurnya, saya begiitu mengagumi sosok embah Fudz dan mbak Ibu. Embah, yang kami semua panggil beliau "Ayah", adalah sebaik2 orang tua bagi kami. Ayah, dulu adalah seorang dosen dan kepala MAN Peterongan, Jombang. Ayah dan Ibu, begitu kami semua memanggilnya, adalah pasangan yang begitu menjadi panutan bagi kami, anak-anak dan puluhan cucunya. Tanpa beliau, kami semua tak kan seperti ini.
Dibesarkan dari keluarga pesantren, Ayah dan Ibu tumbuh menjadi orangtua yang mampu mengajarkan nilai-nilai keislaman bagi anak cucunya. Meski demikian, Ayah dan Ibu tidak pernah sekalipun memaksakan dan menyuruh apapun kepada anak-anaknya.
"Ayah dosen agama, harusnya anak-anaknya dipaksa belajar agama juga, disekolahkan di IAIN, tapi itu nggak pernah ada dalam pikiran Ayah" lanjut om Safak.
Ya, kami semua dibebaskan untuk memilih apapun yang kami suka, yang kami inginkan, asalkan kami harus bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut.
Seketika itu saya menjadi anak yang paling bersyukur karena dibesarkan oleh mereka. Lihatlah, sampai adik-adik saya yang masih belum sekolah sekalipun, mereka meniru kakak-kakaknya. Selalu belajar setiap malam tiba, selalu berangkat ke mesjid setiap kali adzan berkumandang.
Pendidikan yang diajarkan kepada kami adalah pendidikan melalui percontohan , bukan lantas menyuruh-nyuruh. Orangtua kami, sejak kami masih kecil, selalu mengajak pergi ke masjid. Selalu membaca quran selepas sholat maghrib, dan itulah yang terekam dengan sangat kuat dan menghujam dalam hati kami semua.
Kalau dari kedermawanan om-om saya, maka Mbah Ibu lah yang punya andil besar. Tante Ima bilang, Mbah Ibu selalu membagi-bagikan makanan kepada tetangga, mereka melihat saat mereka masih kecil. Anak-anaknya lantas meniru ketika dewasa.
Begitulah, sedikit cerita tentang pendidikan yang diajarkan dalam keluarga kami, yang terus mengalir dalam darah saya, yang terus menghujam dalam hati. Saya berdoa semoga Embah menerima tempat yang mulia di sisiNya.. Aaaminn
Batu, 21 Agustus 2013
"Wuiiih, dulu, ya, yang namanya habis maghrib, kita semua tanpa disuruh sama ayah, udah nderes (nderes : membaca al quran, dalam pengertian kami) duluan, sampe sholat Isya, sesudah sholat Isya, kami semua langsung buka buku semua. Mbuh iku temenan sinau ta gak, sing penting buka buku, epok2 sinau. Nggak ono sing cangkruk ning ngarep-ngarep, opo neh dolen"
Bermula dari obrolan kami tentang rencana studi masa depan, bagaimana harus mengejarnya, dan sebagainya, selalu saja obrolan kami kembali pada satu titik : cara keluarga kami mendidik. Sejujurnya, saya begiitu mengagumi sosok embah Fudz dan mbak Ibu. Embah, yang kami semua panggil beliau "Ayah", adalah sebaik2 orang tua bagi kami. Ayah, dulu adalah seorang dosen dan kepala MAN Peterongan, Jombang. Ayah dan Ibu, begitu kami semua memanggilnya, adalah pasangan yang begitu menjadi panutan bagi kami, anak-anak dan puluhan cucunya. Tanpa beliau, kami semua tak kan seperti ini.
Dibesarkan dari keluarga pesantren, Ayah dan Ibu tumbuh menjadi orangtua yang mampu mengajarkan nilai-nilai keislaman bagi anak cucunya. Meski demikian, Ayah dan Ibu tidak pernah sekalipun memaksakan dan menyuruh apapun kepada anak-anaknya.
"Ayah dosen agama, harusnya anak-anaknya dipaksa belajar agama juga, disekolahkan di IAIN, tapi itu nggak pernah ada dalam pikiran Ayah" lanjut om Safak.
Ya, kami semua dibebaskan untuk memilih apapun yang kami suka, yang kami inginkan, asalkan kami harus bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut.
Seketika itu saya menjadi anak yang paling bersyukur karena dibesarkan oleh mereka. Lihatlah, sampai adik-adik saya yang masih belum sekolah sekalipun, mereka meniru kakak-kakaknya. Selalu belajar setiap malam tiba, selalu berangkat ke mesjid setiap kali adzan berkumandang.
Pendidikan yang diajarkan kepada kami adalah pendidikan melalui percontohan , bukan lantas menyuruh-nyuruh. Orangtua kami, sejak kami masih kecil, selalu mengajak pergi ke masjid. Selalu membaca quran selepas sholat maghrib, dan itulah yang terekam dengan sangat kuat dan menghujam dalam hati kami semua.
Kalau dari kedermawanan om-om saya, maka Mbah Ibu lah yang punya andil besar. Tante Ima bilang, Mbah Ibu selalu membagi-bagikan makanan kepada tetangga, mereka melihat saat mereka masih kecil. Anak-anaknya lantas meniru ketika dewasa.
Begitulah, sedikit cerita tentang pendidikan yang diajarkan dalam keluarga kami, yang terus mengalir dalam darah saya, yang terus menghujam dalam hati. Saya berdoa semoga Embah menerima tempat yang mulia di sisiNya.. Aaaminn
Batu, 21 Agustus 2013
tersentuh membaca tulisan ini.kalau di buat novel..bisa setara dengan keluarga cemara :)
BalasHapus