Rindu Belajar


Sebenernya, note ini udah pernah aku publish di facebook, tapi biarlah disini aku posting juga, siapa tau ada fans blog ini yang ga pernah baca tulisan ini di facebook.. haha *ngaco

***
“kuliah itu enak lho, kamu mau belajar atau enggak, nggak bakalan dimarahin sama dosen, nggak kayak pas SMA”

“nanti kalau kalian sudah kuliah, dosen kalian tidak peduli lagi kalian mau belajar atau tidak, kalian dituntut untuk mandiri, harus kalian biasakan mulai dari sekarang. Dosen nggak akan lagi menyuruh-nyuruh dan menuntut kalian belajar, ataupun mengerjakan tugas”

Sering  aku mendengar ucapan semacam itu sejak masih duduk di bangku sekolah beberapa tahun yang lalu. Memang, tak bisa dipungkiri bahwa setelah meninggalkan bangku sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, kita dituntut untuk lebih mandiri. Dalam segala hal. Harus bisa bangun pagi sendiri, belajar sendiri, mengatur keuangan, dan banyak hal yang lainnya. Bagi sebagian yang sudah terbiasa untuk merantau dan hidup mandiri, hal ini mungkin biasa-biasa saja, sudah menjadi kebiasaan selama beberapa tahun lamanya. Berbeda denganku. Aku mulai merantau sejak keluar dari bangku SMA. Dan hal itu menjadi tantangan tersendiri buatku. Tak bisa segera beradaptasi, masih homesick, bingung mengatur dan membagi waktu adalah hal yang lumrah dan seringkali aku hadapi.

Bukannya aku memilih untuk belajar mandiri, tapi aku malah mengambil option yang pertama “kamu mau belajar atau enggak, nggak bakalan dimarahin dosen”. Entah, sudah lupa dari siapa saja aku mendengar ucapan-ucapan semacam itu. Dulu, aku menganggap belajar adalah sesuatu yang begitu membebani (sepertinya juga sampai sekarang :D). Belajar menjadi sebuah kewajiban yang memberatkan. Sekarang malah semakin parah. Jarang belajar, jarang membaca referensi. Apalagi dengan embel-embel "tidak akan dimarahin dosen" . Mungkin karena tidak ada dorongan untuk “terpaksa belajar”. Jadinya ya seperti ini, terlalu santai. Tapi aku juga takut kalau-kalau kelewat santai, akhirnya diberi tugas sedikit saja sudah mengeluh. Sudah merasa sangat keberatan.

Seseorang pernah bercerita padaku, karena tetangga kamarnya adalah seorang Finlandia, dia menuturkan bahwa Finlandia adalah Negara terbaik dalam sistem pendidikan.Setelah aku browsing beberapa sumber di internet, ternyata hal tersebut memang benar adanya. Dari beberapa sumber yang aku dapatkan, salah satu kuncinya, Finlandia mengurangi frekuensi untuk ujian. Disebutkan bahwa banyaknya testing membuat siswa hanya belajar untuk mengejar nilai dan kelulusan dari ujian itu sendiri dan akan menghancurkan tujuan belajar siswa. Siswa diajarkan untuk mengevaluasi diri mereka sendiri. Akhirnya, mereka pun terbiasa untuk belajar dan mencari informasi sendiri. Mereka menekankan pada proses, bukan pada hasil. Siswa juga tidak akan dibandingkan satu dengan lainnya, hanya dibandingkan dengan hasil belajar sebelumnya.

Tentu sangat berbeda dengan sistem pendidikan yang aku dapatkan. Dulu sering ada ulangan harian seminggu sekali, yang mau nggak mau harus belajar. Dan itu berdampak sampai sekarang. Kalau nggak ada ulangan, ya sudah nggak belajar. Belajarnya nanti-nanti saja kalau sudah dekat ujian. Hal itu menunjukkan bahwa sejak dulu memang orientasi belajarku adalah untuk mengejar kelulusan ujian.

Dorongan dan kesadaran dari dalam diri sendiri, didukung dengan fasilitas serta pendidik tentunya sangat diperlukan. Pernah aku menonton acara MTGW yang berjudul "Menjadi Guru Yang Dirindukan" di sebuah stasiun televisi swasta. Karena aku tertarik, aku mendownloadnya di youtube. Disitu disebutkan bahwa : 

Murid-murid kita itu akan menjadi guru-guru masa depan yang hebat jika mereka rindu akan belajar. Kedua, mereka itu rindu gedung, rindu sekolah.  Mimpi , mimipi sekolah, berangkat balapan pagi-pagian ke sekolah, tapi opo tumon ? (apa ada) ?
Yang membuat mereka rindu belajar, rindu sekolah, adalah kalau mereka rindu kepada gurunya. Kalau anda bertemu nanti, bertemulah seperti anda tidak bertemu lama , “a-pa ka-bar”, “ke-ma-na sa-ja”. Nanti ketika anda mau berpisah, anggap anda sudah tidak akan bertemu lagi “hati-hati yaaaa”, “salam sama mama”. “dadaaaa”.
 “Love is gift”..kasih sayang itu pemberian....nanti malam , carilah komik, bacaan-bacaan yang lucu, pagi-pagi sebelum mulai bilang “Anak-anakku, ada cerita lucu”….
Bahkan hal itu dilakukan guru saya di Indiana University , Profesor saya di bidang kewirausahaan. Kita semua datang pagi karena kita ingin mendengarkan beliau bercerita yang lucu.
Hadiahkanlah keceriaan, mudakanlah tepuk tangan…

tentu aku juga tidak menuntut sampai demikian adanya. Aku pun sadar bahwa aku memang bukan anak kecil yang perlu diperlakukan seperti itu. Tetapi, jujur aku bahagia sekali ketika mendapati guru-guru yang dapat benar-benar menjadi seutuhnya pembimbing bagi murid-muridnya. Tak hanya sekedar proses didik-mendidik, melainkan proses bertukar ide, gagasan yang berkelanjutan, tak semata penyampaian satu arah dan komando dalam kelas formal melainkan interaksi informal juga dibutuhkan. Sehingga ada kedekatan antara guru dan murid, yang membuat murid akan semakin antusias dan senang melalui proses pembelajaran. Pengalaman itu sudah aku dapatkan,dan sangat aku rasakan hasilnya. Adalah suatu kebahagiaan tersendiri ketika aku dipanggil "nak", ketika tidak ada jarak yang sangat jauh antara guru dengan murid (namun masih dalam batas kesopanan), ketika dapat mengingat dan memanggil namaku, dan ketika berucap "hati-hati ya, nak" saat aku pulang. Bahkan masih mengucap "halo zizi" dengan penuh senyuman saat aku terlambat untuk masuk kelas (tentunya tidak aku sengaja). Terlihat sepele memang, tetapi bagiku, itu adalah hal yang luar biasa.

Sehingga akupun selalu rindu untuk datang kesana, untuk menemukan barbagai hal baru, dan aku sangat menikmati proses pembelajaran itu.



Komentar

Postingan Populer