Kunjungan ke Jogja dan Kost E6

Kurang lebih sembilan tahun lalu, setiap malam di kamar kos E6 di Jalan Kaliurang km 5, di lantai dua, kerap kali aku terjaga. Masih segar dalam ingatan bagaimana sempit dan kecilnya kamarku. Sinar matahari sangat jarang memasuki sudut-sudut kamar karena tepat di depan jendela, ada jemuran yang selalu bergelantungan. Dalam kamar yang sempit itu ada satu bed yang hanya muat untuk satu orang, lemari yang tak bisa dipindahkan (karena dicor lol), satu meja dan kursi belajar. Ibu membawakanku beberapa rak-rak plastik berwarna pink beserta beberapa bed cover. Karena bed cover yang diberi Ibu berwarna oranye, aku menyesuaikan kamarku dengan nuansa oranye. Kasur yang disediakan oleh Ibu kos begitu tipis tak ada isinya. Aku menggantung beberapa pigura dan foto-foto keluarga di dinding, serta kata-kata motivasi.

Dengan Rina dan Silvi, teman pertamaku di Jogja yang selalu aku ingat hingga kapanpun, aku membeli karpet murah berwarna oranye berbahan semi plastik di Malioboro. Jadilah kamarku dengan nuansa penuh oren-oren. Aku juga membeli beberapa peralatan seperti toples-toples plastik dengan tutupnya berwarna hijau yang kemudian aku isi dengan makanan-makanan bawaan dari Ibu: kering tempe, bumbu pecel, serundeng, kering kentang. Selain itu, aku juga membeli dispenser, serta teko pemasak air yang selalu menyelamatkanku dari kelaparan karena dalam pemasak air tersebut, aku juga bisa memasak indomie. Aku masih ingat betul bagaimana bentuk dan warna pemasak air tersebut: pendek dan transparan, merknya lion star, dengan kabel yang berwarna putih dan tutupnya berwarna hijau. Ibu juga membawakan aku rice cooker, sehingga aku lebih sering memasak nasi di rumah dan membeli lauknya dari warung dekat kos. Saat awal aku masih tingal di sana, kami tak punya dapur. Selang beberapa bulan kemudian, kami punya kompor gas. Kami begitu mengidamkan adanya sebuah dapur untuk memasak.

Sesaat setelah Silvi pindah, aku sering mengunjungi Kak Resma di kamarnya untuk memasak nasi goreng dengan sosis, ditaburi bawang goreng kiriman mama Kak Resma. Masakan kak Resma tak ada yang menandingi, seingatku. Aku dan Lia juga sering mendapatkan bonus untuk ikut makan jajanan Kak Resma, kiriman dari keluarganya di Sumatra. Tak hanya itu, Kak Resma juga mengajakku ke sebuah cafe mewah, entah namanya aku lupa. Yang aku ingat, aku ditraktir Kak Resma Red Velvet Cake yang rasanya menjadi salah satu highlight dalam masa perkuliahanku di Jogja. Kak Resma juga meminjamkan gaun dan meriasku untuk pelatihan Table Manner di Hotel Sheraton Mustika, Lia yang meminjamiku blazer dan mengantarku ke sana. Saat kami di Sheraton bulan Februari lalu, aku teringat kebaikan mereka.

Seringkali setiap malam teman-teman kost E6 juga mendatangiku di kamar, atau aku yang mendatangi mereka. Silvi dan Resti, juga Lia dan Mbak Tika, sering mendatangiku di kamar, aku selalu senang ketika mereka datang, karena aku tak merasa sendirian. Silvi sangat rajin belajar dan selalu membawa bukunya. Tak heran jika IPnya selalu sempurna : empat atau empat kurang sedikit. Seringkali ia ketiduran setelah menghafal pasal-pasal. Karena Silvi, aku termotivasi juga untuk belajar. Aku dan Resti pernah merasakan gempa ketika Merapi meletus. Aku tertidur di atas Kasur, Resti di lantai. Aku dan Resti melompat hingga keluar.

Dari Silvi aku mengenal Rina. Kami bertiga seringkali berjalan berkilo-kilometer saat awal pindah ke Jogja karena tak punya motor. Kami juga sering menaiki bus yang berhenti di Jakal Saat ingin ke Malioboro. Rina tinggal di kos belakang kos kami. Kami juga sering mengunjungi Rina di kosnya. Saat aku pindah dari kos ke kontrakan, aku masih sering mengunjungi Rina di kos barunya. Rina juga mengantarku hingga ke Bandara dan membantuku membereskan perabotan sebelum aku ke Jerman. Aku memeluknya erat-erat sebelum kami berpisah, berharap semoga pertemanan kami selalu terjaga.

Kami tak punya Gemeinschaftsraum, ruang dimana kita semua bisa berkumpul dan bersosialisasi. Jika ada tamu laki-laki, kami hanya bisa menerima mereka di luar: tak bisa menjamu atau memberikan minuman. Jika termasuk dalam keluarga, kami boleh membawa mereka hingga ke kamar. Om Safik dan Tante Loubna pernah mengunjungiku hingga ke kamar.

Dua kali aku pernah sakit saat tinggal di kos E6. Mbak Ayun, Resti dan seingatku Mbak Tika yang membawaku ke rumah sakit Panti Rapih. Untungnya, aku tak harus melakukan rawat inap. Yosi, teman kos E6 yang satu kelas bersamaku, dengannya aku tiap pagi berangkat kuliah jalan kaki yang kemudian pindah ke kontrakan, dan Ema serta Nadiah yang menyempatkan mengunjungiku, bahkan sebelum kami ujian immunologi.

Aku dan Silvi juga seringkali main dan tidur di kamar kak Dian. Kamar kak Dian sangat luas dengan kamar mandi dalam. Kak Dian juga punya televisi yang bisa kami tonton. Aku paling suka mendengar Kak Dian saat ia berbicara dengan keluarganya di rumah. Nadanya selalu aku tirukan hingga dia tertawa. Kak Dian tak pernah marah meskipun kami selalu mengganggunya, dia selalu mempersilahkan kami masuk meski dia sedang berkutat dengan koran-koran bahan penelitiannya. Kak Dian juga tak pernah enggan berbagi kiriman Rendang dan Teri dari Bundo di Padang. Agnes dan Tiffany yang menempati kamar Kak Dian, setelah ia menyelesaikan studinya di bidang linguistik. Aku selalu senang melihat semangat mereka berdua untuk studi. Mereka selalu berpamitan padaku sebelum mereka pergi kuliah "Mbak, pergi dulu ya". Tak hanya itu, diam-diam mereka juga memberikan aku surprise di hari ulang tahunku, bersama Upet, yang mengisi kamar Lia saat Lia sudah pindah.

Hanya aku dan Dila, yang menempati kamar tepat di sebelah kiriku yang tak punya kamar mandi dalam. Aku, Dila dan beberapa orang lainnya harus berbagi kamar mandi. Saat mandi, kami harus memakai sendal jepit karena semua sudah berlumut. Ibuku hampir menangis ketika melihat kamar mandi di kos. Kamar mandi tersebut pun hanya terdiri atas bak tempat air dan lantai untuk mandi. WC terletak di ujung lain dari kamar kami. Dila, satu teman kotrakan yang begitu tulus dan tak pernah merasa keberatan ketika motornya kupinjam. Pada tahun pertama masa tinggalku di Jogja, aku tak punya motor. Sepeda pertamaku di Jogja yang aku beli bersama Mas Siroj hilang dicuri saat aku membeli makanan dekat kos. Sepeda kedua aku beli setelah beasiswa PPA-ku keluar. Lia yang mengantarku membeli sepeda itu di bawah jembatan Lempuyangan. Lia memboncengku ketika kami berangkat ke toko sepeda, dan mendorongku dengan kakinya ketika aku sudah membeli sepeda polygon berwarna ungu. Kami berdua sudah seperti sedang syuting video klip tentang lagu persahabatan.

Dila juga yang mengantarku menjemput motor hadiah dari Om Safak. Motorku di kirim dari Malang dan diangkut menggunakan truk oleh sopirnya, sehingga kami harus menjemput motor di daerah yang boleh dilewati truk besar. Aku sangat senang mendengar Dila bersenandung sembari memainkan gitarnya. Selain Dila, Mbak Tika juga sering meminjamiku motor, atau mengantarku kemanapun aku mau. Aku dan Mbak Tika sering sharing tentang buku, karena ketertarikan kami pada sastra. Kami saling bertukar buku yang sudah kami beli. Terakhir Saat masih tinggal di E6, kami berdiskusi tentang Negeri van Oranye.

Saat mengunjungi Jogja beberapa bulan kemarin, aku berjalan kaki dan mengajak Tilmann hingga ke depan kos E6 dan menunjukkan padanya. Semuanya sudah berubah. D'Gejrot dan Burjo berubah menjadi sebuah rumah besar. Saat berjalan menuju kos, semua kenangan kembali lagi. Jus pak Lebah terlihat lebih modern. Kos E6 juga terlihat megah dengan satu lantai lagi diatasnya. Satu yang tak berubah: kenangan dan ceritaku di sana, rumah pertamaku yang aku tinggali ketika di Jogja.

Hamburg yang sedang mendung. 1 Mei 2019

Komentar

Postingan Populer