Menari bersama “ketidakpastian”

Hey, ini seringkali saya alami, bagaimana tidak, bertahun-tahun saya hidup bersatu dengan keluarga, membaur bersama, dan saya pun menjadi  hampir tidak bisa merasakan apa itu perpisahan. Tinggal bersama keluarga, sejak awal sekolah sampai lulus SMA di lokasi yang tidak terlalu jauh jaraknya, dan secara otomatis saya juga hampir tidak pernah merasa kehilangan teman  . Bagaimana tidak ? lha wong teman saya sejak di bangku SD, SMP bahkan SMA, itu juga yang akan menjadi teman saya sampai nanti. Intinya, saya jarang berhadapan dengan kehidupan yang penuh ketidakpastian. Berangkat sekolah, pulang sekolah, mau ngapain hari ini, itu semua sudah terjadwal dan sudah pasti. Semua sudah bisa ditebak dan taksirannya juga jarang meleset. Apalagi siswa macam saya ini, yang sangat jarang menerima ajakan (*sebenarnya tidak ada yang mengajak juga* :D) untuk hang out atau sekadar nongkrong bersama teman-teman yang lain, yang begitu saya kagumi kecerdasan sosial dan solidaritasnya. Yah, begitulah. Kehidupan yang monoton dan itu-itu saja tanpa ada “sesuatu”, saya jalani hingga beberapa tahun lamanya.

***

Sekarang….
Jadwal kuliah yang seringkali berubah-ubah, bahkan bisa saja ketika hari H baru terpampang, menuntut untuk lebih fleksibel dan kreatif dalam mengatur segala hal. Bahkan yang membuat saya frustasi adalah ketika ingin mengerjakan tugas dan saya bilang “nanti aja kan masih ada waktu luang sebelum kuliah jam ke 3” dan ketika datang baru sadar kalau waktu yang saya alokasikan untuk mengerjakan tugas tersebut harus diisi dengan mengikuti jam kuliah . Oh My God!. Alhasil, terbengkalai tugas, janji-janji pertemuan yang sudah dibuat, serta jadwal kegiatan apa saja yang akan saya laksanakan hari itu juga.

***
Masa-masa “galau” karena ketidakpastian ini juga yang saya rasakan sekitar satu bulan yang lalu. Dua bulan. Dua bulan penuh saya menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta. Makan bersama sama, memasak, belanja, kesana kemari, melakukan berbagai aktivitas bersama-sama. Apalagi mendekati lebaran dan setelahnya, itu masa-masa yang jarang saya alami. Saya sudah terlanjur “hanyut” dengan suasana seperti itu. Dan tiba-tiba saja waktu berlalu dengan semakin cepatnya. Saya sudah harus kembali ke kehidupan asal ,menjalani keseharian sebagai seorang perantau. Di sepanjang jalan saya terus menerus terisak-isak dan seringkali melepas kaca mata yang basah dengan cucuran air mata. Di depan mata, tergambar dengan sangat jelas wajah kedua orang tua saya yang mengisyaratkan “hati-hati, ya Nak, baik-baik di sana”. Paman2 dan Bibi2 yang mengantar sampai ke depan, memeluk dan menciumi saya dengan penuh kasih sayang, menepuk-nepuk pundak saya, berharap dan berdoa semoga keponakannya satu ini bisa menjaga dirinya dengan baik dan menjadi orang sukses, berbahagia dan bermanfaat bagi sesamanya. Salah satu guru saya yang selalu berpesan “belajar dan doa ya Mbak, Mama selalu doakan”.  Canda tawa adik-adik sepupu yang seringkali membuat rindu akan imajinasi, tingkah dan gayanya yang seringkali membuat saya terheran-heran dan terkagum-kagum melihatnya. Beberapa minggu sudah kami berguling-guling bersama, bermain kembang api, tidur di halaman rumah hingga larut malam sambil menyalakan api.. Ah… rasanya saya ingin melompat keluar dari bus dan berlari kembali ke rumah…

Pun ketika saya mengikuti salah satu kepanitiaan. Kurang lebih setengah tahun yang lalu kami bertemu, merapat, dan mengerjakan tugas-tugas yang sudah menjadi jobdesc masing-masing dari kami. Meskipun tidak setiap hari kami bertemu dan bertegur sapa (karena kami dari berbagai jurusan yang berbeda-beda) tapi waktu enam bulan bukanlah waktu yang singkat untuk mengenal satu sama lain..yaaa.. pada akhirnya juga kami harus berpisah. Dan lagi-lagi, rasa itu muncul tiba-tiba. Rasa senang karena acara telah usai, tapi menyelinap kesedihan dalam hati karena harus berpisah dengan teman-teman yang sudah saya rasakan kekeluargaannya itu. Sehari setelahnya pun, saya masih merasakan suasana berkumpul bersama. Tetapi kenyatannya, kami harus berpisah dan kembali lagi ke kehidupan asal sebagai mahasiswa. Lagi-lagi, ketidakpastian itu datang lagi.

Demikian halnya dengan beberapa kegiatan dengan waktu yang terbatas yang sempat saya ikuti. Dua hari pertama saya mengeluh karena beban mental dan fisik yang cukup berat saya alami. Tetapi saya baru menyadari dan bahkan saya tidak ingin pulang saat-saat terakhir berada di tempat tersebut. Disitu saya merasa sangat sedih , karena, sekali lagi, saya harus berpisah dengan teman-teman yang membuat saya geleng-geleng kepala karena kekonyolannya saat kami bekerja sama dalam satu tim outbond. Juga, saya baru merasakan betapa sayangnya marinir (pelatih) kepada kami. Di balik wajahnya yang menyeramkan dan terlihat begitu galak, pada akhirnya mereka sangat hangat dan menjadi guru-guru kami, yang telah mengajarkan banyak hal kepada kami. Yang telah mendidik kami dengan penuh keikhlasan. Dan itu juga yang “baru” saya rasakan pada detik-detik  hendak berpisah.

***

Entah dibilang saya membenci perpisahan atau tidak, tetapi saya merasakan betapa tidak nyamannya ketika saya harus berpisah dengan sesuatu yang sudah terlanjur saya sayangi, yang sudah terlanjur saya dibuat “hangat” bersamanya. Entah apakah karena saya memang sudah mulai ingin keluar dari zona nyaman dan keluar dari rutinitas yang memang monoton dan itu2 saja, saya juga kurang begitu paham.
Malangnya, saya seringkali baru “menyadari” saat-saat terakhir. Menyadari bahwa saya tidak dapat terus menerus bersama kepastian. Semoga saja, saya bisa menghargai segala sesuatu yang saya miliki, terutama waktu dan orang-orang yang berada di sekeliling saya. Karena saya harus mulai terbiasa dengan ketidakpastian. Karena terkadang saya baru menyadari bahwa sesuatu itu sangat berharga ketika sudah tidak bersama saya lagi !

Zizi.Zia 
Yogyakarta, 17 Oktober 2011 23.59 pm
Ditulis di kamar kos E-6
Ditemani secangkir kopi krimer hangat dan “Kemesraan” - Iwan Fals

Komentar

Postingan Populer